Segitiga

Ia berjalan ke arahku dengan ragu-ragu, memandangku dengan tanda tanya besar diwajahnya, lalu ketika tiba didepanku ia menyebut namaku dengan nada tanya, dan aku mengangguk mengiyakan. Ia pun duduk dihadapanku. Aku memperhatikan dirinya dengan seksama, ia cantik, sangat cantik, lekuk tubuhnya sangat sempurna, kulitnya putih bersih, tampak begitu halus terawat demikian pula dengan rambut hitamnya. Sungguh ia memiliki kecantikan yang begitu sempurna sehingga aku sendiri pun tak berani memimpikannya, tak berani memimpikan untuk bisa secantik itu. ƒš… Jadi? Apa yang ingin kau bicarakan denganku?ƒš‚ Aku bertanya tanpa basa-basi lagi. Ia menatapku serius, menghela nafas panjang, sepertinya mempertimbangkan sesuatu yang berat untuk diucapkan, sebelum akhirnya mengatakan ƒš…Suamiku,ƒš‚ sambil menatapku tajam.
Aku memandangnya prihatin, ah aku sudah menduganya hatiku berkata, sejak hari ia menghubungiku dan kami berbicara lewat telepon, aku bukanlah perempuan bodoh yang tidak bisa mengira-ngira akan hal apa yang membuatnya memberanikan diri berbicara lewat telepon dan meminta waktu untuk bertemu dengan seorang perempuan tak dikenal yang mungkin hanya pernah ia dengar namanya. ƒš…Ada apa dengan suamimu, dan apa hubungannya denganku?ƒš‚ tanyaku tenang.
ƒš…Akuƒš‚aku ingin tahu mengapa dulu engkau meninggalkannya, sehingga ia memutuskan untuk menikah dengankuƒš‚,ƒš‚ ia bertanya gelisah. Sekarang berganti aku yang menatapnya ragu, ƒš…Apakah kau sungguh perlu tahu?ƒš‚ tanyaku serius. Sekilas ia tampak bingung, ƒš… Akuƒš‚ aku tak tahuƒš‚ tapi aku rasa aku perlu tahu, aku ingin tahu, suamikuƒš‚ iaƒš‚belakangan ini ia sepertinya sering memikirkanmuƒš‚ berkali-kali ia menyebut namamu dalam tidurnyaƒš‚,ƒš‚ Aku kembali menatapnya, dia balas menatapku dengan pandangan memohon yang aku tak akan kuasa menolaknya. Aku menghela nafas, berusaha mengingat saat-saat itu, ketika aku dan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya sama-sama masih sendiri dan saling mengisi hari meskipun tak ada ikatan diantara kami. ƒš…Aku punya beberapa alasan untuk meninggalkannya, tetapi menurutku akan lebih bijaksana kalau kau tak tahu, igauan tak berarti apa-apa, mungkin sama seperti racauan pemabukƒš‚!ƒš‚ kataku.
ƒš…Ah kau tak tahu, bukan hanya igauan itu yang membuatku gelisahƒš‚tapiƒš‚ tapiƒš‚,ƒš‚ Ia menelan ludahnya, mencoba memuntahkan kata-kata yang sepertinya tersangkut ditenggorokannya, ƒš…Belakangan ini, iaƒš‚ kamiƒš‚ maksudkuƒš‚ waktu kami ditempat tidur dan melakukan itu, sepertinya ia membayangkan aku sebagai orang lainƒš‚ sebagai dirimuƒš‚ hanya badannya yang bersamaku, tetapi jiwanya tidakƒš‚ dan itu berlangsung berkali-kaliƒš‚ akuƒš‚ aku sangat frustasiƒš‚!ƒš‚ ungkapnya jujur. Aku terhenyak, ƒš…Mungkin itu hanya perasaanmu sajaƒš‚,ƒš‚ ujarku, berusaha tampak selugas mungkin dihadapannya. ƒš…Tidak,ƒš‚ ujarnya tegas, ƒš…Dia suamiku, kami kan sudah menikah selama tiga tahun, dan belakangan ini iaƒš‚ ia sepertinyaƒš‚ apa kau kembali berhubungan dengannyaƒš‚?ƒš‚ tanyanya curiga.
ƒš…Apa kau sudah gila?ƒš‚ aku agak tersinggung, ƒš…Dengar, aku mungkin pernah menyukai laki-laki yang sekarang jadi suamimu, aku pernah berpikir untuk menikah dengannya, bahkan aku perkenalkan ia pada kedua orangtuaku, tetapi itu empat tahun yang laluƒš‚ empat tahun yang laluƒš‚ dan hari ini kau duduk dihadapanku dan menanyakan pertanyaan bodoh yang harus aku jawab dengan sama bodohnya,ƒš‚ ujarku sambil menatapnya sebal. Ia balas menatapku tanpa ada rasa penyesalan diwajahnya. ƒš…Tak bisakah kau jawab saja pertanyaanku?ƒš‚ tanyanya menuntut. ƒš…Harusnya kau tanyakan pertanyaan ini pada suamimu, bukan padaku, kami terakhir berhubungan empat tahun yang lalu, dan aku tidak cukup mencintai suamimu untuk kembali padanya saat dia sudah beristriƒš‚ lagi pula saat ini ada seseorang yang sangat aku cintai,ƒš‚ ungkapku, berharap jawabanku akan membuatnya berhenti bertanya. Tapi tampaknya ia sudah bertekad bulat untuk mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan ƒš…Kenapa waktu itu kau meninggalkannya?ƒš‚ desaknya lagi.
Aku kembali menghela nafas panjang, baiklah hati kecilku berkata, kau yang memintanya, aku menatapnya lekat-lekat, ƒš… Seperti aku bilang tadi, aku punya beberapa alasanƒš‚ tetapi alasan utamanya adalah kauƒš‚,ƒš‚ ujarku. ƒš… Maksudmu?ƒš‚ tanyanya tak percaya. Aku tersenyum getir dan melanjutkan, ƒš…Aku tahu waktu itu kita terperangkap dalam segitigaƒš‚ aku dan diaƒš‚ kau dan diaƒš‚ waktu kita dengannya berputar pada saat yang samaƒš‚,ƒš‚ aku diam sejenak, memperhatikan reaksinya, kemudian melanjutkan, ƒš…Aku tahu saat itu kita berdua berharap pada pria yang sama, dan ia cukup jujur untuk menceritakan tentang dirimu padakuƒš‚ dia berkata bahwa sebagai pria ia tidak mau menggantungkan harapan hanya pada satu wanita, karena jika ia menggantungkan harapan hanya pada satu wanitaƒš‚ maka wanita itu akan menjual dirinya mahal-mahalƒš‚tentu saja hal itu mengacu kepada akuƒš‚,ƒš‚ Aku tertawa getir, lalu berucap, ƒš…Dan aku punya alasan yang kuat untuk menduga bahwa kemungkinan besar ia mengatakan hal yang sama padamuƒš‚ dan kau tak perlu menjawabnyaƒš‚!ƒš‚
Wajahnya pucat mendengar apa yang aku katakan, ia hanya diam tak berani menatapku. Aku melanjutkan, ƒš…Saat itu, dia selalu membanding-bandingkan aku denganmu, berkata bahwa kau selalu punya waktu untuknya sedangkan aku tidak, tanpa pernah mau mengerti dan percaya pada alasan yang aku ungkapkan dengan sejujurnya, mengatakan bahwa aku selalu membuatnya sakit hati dengan segala ucapanku yang terlalu apa adanya tidak seperti dirimu yang setiap saat selalu berkata manis dan hanya mengatakan apa yang ingin ia dengar, tanpa ia pahami bahwa aku mengatakan itu untuk kemajuannya, bahwa aku sebagai perempuan terlalu mandiri tidak seperti dirimu yang hampir setiap kali membutuhkan dirinya, tanpa pernah melihat bahwa aku berusaha mandiri karena tidak ingin merepotkannya dengan masalah-masalahku yang selalu tampak sepele baginya, bahwa aku seorang pembohong hanya karena aku mengatakan hal-hal benar yang membuatnya tidak senang, tidak seperti dirimu, tanpa mau melihat jejak kebenaran yang sebenarnya aku tinggalkan untuknya, bahwa aku begitu dingin dan tidak sepertimu, tanpa pernah mengerti bahwa aku dengan bersusah payah menahan diri agar mampu membedakan antara nafsu dengan ketulusan. Dan sekali lagi aku punya alasan kuat untuk percaya bahwa ia mengatakan hal-hal yang sama tentang diriku padamu, dan mungkin saat itu pun kau dengan senang hati mendengarkan hal-hal itu yang membuatmu merasa jauh lebih sempurna darikuƒš‚ membuatmu merasa menangƒš‚ dan membuatmu semakin bersemangat mengatur langkah-langkah dalam strategimuƒš‚,ƒš‚
Ia tampak semakin gelisah mendengar ucapanku, namun aku terus berbicara, ƒš… Dan aku selalu terlalu naif untuk mengerti bahwa untuk lebih dicintai kau harus punya strategi, aku tidak mengerti karena aku tidak mencintai dengan cara itu. Lucu kan, saat itu kita sama-sama tahu bahwa kita berada dalam sebuah segitiga, dan kita sama-sama membiarkan itu. Aku tahu dan aku yakin kau pun begitu, bahwa pada saat itu ia semakin sadar bahwa ia lebih mencintai aku dibandingkan denganmu, tetapi egonya terlalu besar untuk mengakui hal itu, baginya kelihatan terlalu mengharapkan cinta seorang wanita adalah sebuah aib yang besar, dan kau manfaatkan itu.ƒš‚ Aku kembali tertawa getir, bertekad melanjutkan ucapanku hingga selesai kalimat-kalimat panjang yang telah aku mulai ini. ƒš… Tetapi aku tahu bahwa ia terkadang menahan terlalu besar dari apa yang bisa ia tahan, sehingga setiap kali ia merasa bahwa aku telah menyakiti hatinya, ia akan memindahkan sakit itu pada tubuhnya, dan tak segan-segan mengatakan kepadaku bahwa ia lebih kuat menanggung sakit pada badannya dibandingkan sakit pada hatinya ketika aku tanyakan tentang luka-luka dan memar pada lengannya yang selalu bertambah setiap kali sehabis kami bertengkar.ƒš‚
Ia berkali-kali menelan ludah mendengar ucapanku, dan sama seperti tekadnya untuk mendengarkanku, aku pun tetap melanjutkan, ƒš…Semakin lama dia semakin suka membandingkan, antara balasan apa yang kau berikan padanya setiap dia melakukan sesuatu untukmu, dan balasan apa yang dia dapatkan dariku ketika dia melakukan sesuatu untukku. Dan tampaknya balasanmu selalu lebih besar sehingga ia mulai memberlakukan hukum ekonomi kepadaku, menghitung-hitung segala untung ruginya jika dia melakukan sesuatu untukku seperti menghitung harta ayahnya. Kau tahu, suatu waktu ia berkata bahwa ia akan selalu ada jikalau aku membutuhkannya, namun dikala aku benar-benar membutuhkannya ia akan berkeluh kesah bahwa ia telah melakukan ini dan itu untukku hingga aku berpikir bahwa sesungguhnya dia punya daftar atau buku catatan khusus tentang itu, bahwa aku telah merepotkannya dengan balasan yang tidak setimpal, tidak seperti dirimu, dan aku rasa aku tak perlu bertanya padamu, balasan macam apakah yang dianggap setimpal itu.ƒš‚ Aku tersenyum getir.
ƒš…Dan bukannya ia tidak pernah berusaha untuk mendapatkan balasan yang setimpal baginya dariku, diantara kegalauannya karena takut kehilangan aku, ia mencobaƒš‚ menyentuhku dengan paksa, melempar tubuhku dengan kasar pada sofa, dan aku hanya bisa memohon dan menangis meminta padanya dengan bersungguh-sungguh agar menjaga kehormatanku kalau ia memang benar-benar mencintaikuƒš‚ dan pada akhirnya ia selalu menghentikan paksaannya ketika aku mengatakan itu, namun kau harus tahu, segala kebaikan yang telah ia lakukan untukku dan balasan ia harapkan untuk itu telah meninggalkan sebuah bekas dalam hati dan pikiranku, bahwa sampai kapan pun segala kebaikan yang dilakukan oleh laki-laki melalui perhatian, kemudahan dan hadiah-hadiah untukku hanya akan bermuara pada satu keinginan, tubuhku sebagai balasannya. Dan sejak saat itu butuh waktu lama untuk membuatku sekedar percaya bahwa tidak semuanya berlaku seperti itu.ƒš‚ Aku terdiam cukup lama, menahan gejolak hatiku sendiri dan memandangnya lekat-lekat, sementara ia mulai meneteskan air mata yang sungguh tak ingin aku ketahui apakah untuk sebuah kesedihan, rasa iba, rasa putus asa, atau rasa penyesalan.
ƒš…Aku tidak akan berbohong padamu,ƒš‚ kataku lagi, ƒš…Ada saat-saat indah yang tetap aku kenang waktu kami bersama, saat-saat dimana hanya ada ketulusan tanpa kepalsuan akan pengharapan-pengharapan, tetapi itu masa lalu, empat tahun yang lalu. Dan itu membuatku sedikit lebih bijaksana dalam memandang seseorang yang aku cintai saat ini, namun caraku mencintai tetap selalu sama, tetap dengan kenaifan yang sama dan aku ingin kau tahu itu,ƒš‚ ucapku lagi. Ia terisak dan berkata,ƒš…Tapi sampai sekarangƒš‚ aku pikir aku baru menyadari bahwa suamiku mungkin tetap mencintaimu, tetap menyimpan hasratnya padamuƒš‚ dan ternyata akuƒš‚ aku tak pernah benar-benar memenangkan hatinya saat itu, bahkan hingga saat ini hatinya tak pernah benar-benar menjadi milikkuƒš‚kau sungguh beruntungƒš‚ aku berharap aku adalah engkauƒš‚ƒš‚ nadanya mulai terdengar putus asa. Aku menatapnya, ribuan kata-kata berputar dikepalaku dan aku tahu aku harus segera menyusunnya menjadi kalimat-kalimat penghiburan, aku harus segera menjauh pergi pikirku, ini terlalu berat buatkuƒš‚ terlalu berat untuk aku ketahui.
ƒš…Sekarang tenanglah, ini bukan soal menang atau kalah, kupikir mungkin segala igauannya itu hanya merupakan sebagian dirinya yang merasa begitu bersalah padaku, dan aku yakin rasa itu akan segera berlalu seiring dengan waktu. Mungkin ada hal-hal kecil yang terjadi padanya belakangan ini yang mengingatkannya pada diriku. Tapi aku ingin kau berpikir tentang satu hal, aku yang memecahkan segitiga itu, memang aku yang memutuskan pergi meninggalkannya karena aku tahu dalam segala keraguannya dia tak akan pernah sanggup untuk memilih, dan aku berusaha membuat segalanya lebih mudah untuknya dan untukku. Empat tahun yang lalu aku tak ingin rasa sayang itu tumbuh menjadi cinta, terlalu sesak dan menghimpit bagiku jika cinta itu tumbuh dalam sebuah segitiga. Kau tahu, seharusnya kau berpikir bahwa saat itu ia bisa saja meninggalkanmu dan mengejarku, tetapi dia tidak melakukan itu, jadi memang engkau yang dipilihnya dan bukan aku, kau tak perlu khawatir lagi, karena aku tahu kau jauh memberikannya rasa aman dibanding akuƒš‚dan ketika aku pergi, aku berharap hanya yang terbaik bagi kalian, sampai sekarang pun masih begituƒš‚ƒš‚ Aku berkata untuk menenangkannya.
Ia terdiam, demikian pula aku dan aku kembali melanjutkan, ƒš…Dalam setiap segitiga pada hidupku, selalu aku yang akan terlebih dahulu memutuskan untuk pergi karena aku tak mau membuat pihak yang lain kesulitan dalam menentukan pilihan, jadi jangan pernah kau berharap lagi untuk menjadi aku, karena jika kau tahu seluruh kisah hidupku dan kegetiran yang harus aku hadapi ketika membicarakannya, mungkin kau sebagai aku tidak akan pernah berada disini hari ini dan berbicara mengenai hal ini pada seseorang seperti engkauƒš‚ kau masih jauh lebih berharga dibanding akuƒš‚ and hey those men just wasnƒšžt man enough for me,ƒš‚ Aku beranjak pergi meninggalkannya masih dalam tangisan, kuharap dia tak akan coba menghentikanku, kepalaku terasa amat berat.
Jatiasih, 22 Februari 2004
AGNES.

Originally posted 2011-02-20 10:14:22.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *