Selamat Jalan Si Bunga Surga

Supriono alias Supri tertangkap basah tengah menggendong putrinya yang sudah jadi mayat, Nur Khaerunisa yang berusia 3 tahun, di Stasiun Tebet pada Minggu (5/6). Mayat itu dibungkus sarung, sementara mukanya ditutupi dengan kaus.
Kala itu, Supri berniat mengubur si kecil ke perkampungan pemulung di Bogor, dengan menumpang kereta rel listrik (KRL) karena tak punya duit untuk menyewa mobil jenazah. Pekerjaan Supri sebagai pemulung barang bekas dari kampung ke kampung tak memungkinkan untuk menyisakan duit.

Supri berikut mayat putrinya dan putra sulungnya, Muriski Saleh (6), dipaksa ke kantor Polsektro Tebet dan selanjutnya harus kembali ke RSCM untuk memastikan bahwa Khaerunisa bukan korban kejahatan. Supri menjelaskan bahwa anaknya itu meninggal di atas gerobak 07.00 karena muntaber. Supri hanya sekali mengobatkan Khaerunisa ke Puskesmas Setia Budi.
Karena itu ia ngotot menolak anaknya diautopsi. Akhirnya RSCM menyodorkan surat pernyataan yang harus ditandatangani Supri bahwa ia benar-benar menolak anaknya diautopsi.
Dengan bekal surat itu ia berniat menguburkan anaknya. Tapi belum tahu kemana. Hatinya ragu, karena waktu itu jarum jam menunjuk pukul 16.00. Terlalu sore untuk ke Bogor. Dan sejak itu pula, Warta Kota kehilangan jejak Supri.

Tiga hari tim Warta Kota menelusuri pangkalan pemulung dari Cikini hingga Manggarai. Perkampungan pemulung di Bogor plus beberapa stasiun juga dijelajah, tapi Supri tak ditemukan. Padahal, banyak pembaca Warta Kota berniat memberikan bantuan kemanusiaan buat Supri.

Berkat bantuan warga Manggarai, Jakarta Selatan, Supri akhirnya bisa ditemukan. Ia menumpang di rumah rumah petak di pinggiran Ciliwung milik Ibu Sri di Manggarai Utara IV, Tebet. Di sanalah, enam tahun lalu, Supri pernah mengontrak sebulan. Info bahwa Supri berada di sana disampaikan oleh salah seorang pelanggan Warta Kota, Ny Anna Purnomo.
Setahun lalu, Supri cabut dari Manggarai setelah berpisah dengan istrinya, Sariyem. Ia menggelandang sebagai pemulung bersama si kecil Nur Khaerunisa dan Muriski, dengan modal gerobak.
“Saya mangkal di depan Gereja (Isa Almasih) Cikini. Di sana ada halte. Kalau lagi hujan, gerobak saya bawa ke halte, biar anak-anak tidak kehujanan,” kata Supri.
Keputusan Supri untuk pergi ke Manggarai muncul tiba-tiba. Sewaktu keluar dari kamar mayat RSCM sekitar pukul 16.10, Supri masih ingin melanjutkan perjalanan ke Bogor untuk mengubur anaknya, dengan menumpang KRL.

Supri berjalan dengan menggendong mayat anaknya, ditemani Muriski, ke Jalan Salemba tepatnya ke lampu merah di seberang St Carolus. Lama ia termenung karena sudah terlalu sore untuk ke Bogor. “Tiba-tiba terlintas dalam pikiran bahwa saya pernah tinggal di Manggarai. Saya putuskan ke Manggarai, minta tolong warga di sana untuk mengubur anak saya,” katanya.
Ia lantas menyetop bajaj dan bayar Rp 5.000 untuk ke Manggarai. Supri, Muriski, dan mayat si kecil tiba di rumah Ibu Sri di Manggarai pukul 18.15. Rumah mungil itu hanya berjarak dua meter dari bibir Ciliwung. Dia lalu mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu tersebut.
“Saat itu saya sedang mandi, tiba-tiba anak saya memanggil saya, katanya ada tamu. Ternyata Supri. Saat itu dia menggendong anaknya dengan kain sarung. Kepala anaknya ditutup kaus warna putih, sementara kakinya terjuntai. Dia bilang ke saya katanya ‘bu tolong saya’. Karena saya kira dia butuh uang akhirnya saya bergegas mengambil uang,” ujar Sri yang mengaku masih mengingat wajah Supri meski sudah setahun pindah dari rumahnya.

Ketika Sri hendak mengambil uang, tiba-tiba Supri mengatakan bahwa anak yang digendongnya telah meninggal. Sri kaget. Setelah berpikir sejenak, Sri memberitahu warga. Dengan cepat, warga berdatangan untuk mengurusi mayat bocah tersebut.
Bendera kuning tanda berkabung dipasang di sudut-sudut jalan. Sementara lapak penjualan motor di tepi Jalan Manggarai Utara VI disekat dengan kain untuk meletakkan jenazah Khaerunisa. Sebab, sudah terlalu malam untuk mengubur jenazah.

Warga RT 08/RW 01 berkumpul. Mereka berbagi tugas, sebagian meminta surat ke RW dan kelurahan untuk keperluan penguburan. Tapi tetek bengek administrasi baru kelar Senin (7/6) pagi.
“Sebagian mengurus jenazah seperti memandikan dan kasih kain kafan. Sedangkan biaya perizinan hingga penguburan jenazah didapat dari sumbangan sukarela dari warga sekitar yang bersimpati,” ujar Jono, warga yang juga bekerja sebagai petugas memandikan mayat di kawasan tersebut.
Menurut Supriatna yang ikut mengurusi jenazah Khaerunisa, biaya yang dibutuhkan untuk penguburan jenazah Khaerunisa kurang lebih Rp 600.000. Biaya ke Dinas Pemakaman Rp 350.000 dan biaya lainnya semisal membeli kain kafan dan lain-lain sekitar Rp 250.000.

Setelah diinapkan semalam, jenazah Khaerunisa dimakamkan di taman pemakaman umum (TPU) Menteng Pulo Blok A5 di Jalan Casablanca, Pal Batu, Tebet, Senin (6/6). “Khaerunisa akhirnya bisa dikubut sekitar pukul 11.00,” ujar Supriatna.

Dalam pemakaman itu, kakan Khaerunisa, Nuriski Saleh juga ikut serta. Semula Nuriski belum menyadari bahwa adiknya telah meninggal. Ketika dia melihat adiknya dimasukkan ke liang lahat, Nuriski bertanya kepada ayahnya, mengapa adiknya dikubur. “Nuriski baru tahu bahwa adiknya sudah meninggal setelah upacara pemakaman selesai. Saya baru bisa menjelaskan saat pemakaman itu,” ujar Supri. (mur/pro)

Selamat Jalan si Bunga Surga
MATAHARI di siang bolong itu tiba-tiba redup. Tak begitu lama, gerimis pun turun. Meski demikian, Supriono (38) dan putranya, Muriski Saleh (6), dan sejumlah warga Manggarai Utara 6, tetap bertahan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Pulo, Jakarta Selatan.

Rabu (8/6), mereka bersama Warta Kota berziarah ke makam Khaerunisa (3). Putri bungsu Supriono ini meninggal Minggu (5/6) pagi tetapi baru dikubur Senin (6/6) siang karena keterbatasan uang.
Pemakaman itu dilakukan berkat kemurahan warga Manggarai Utara VI yang sebagian besar tinggal di bantaran anak kali Ciliwung. Dari hasil sumbangan warga, terkumpul Rp 600.000 yang dipakai untuk biaya pemakaman Rp 350.000 dan membeli kain kafan serta keperluan lainnya Rp 250.000.
Khaerunisa dikubur di Blok A VI yang letaknya di bagian paling belakang TPU itu. Di sekitarnya masih ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya mencapai sekitar 80 cm. Untuk menuju makam itu, orang harus berjalan kaki paling tidak 300-an meter dari jalan utama.

Pemilihan tempat itu semata-mata karena pertimbangan biaya. “Di sini saja bayar Rp 350.000. Apalagi kalau di pinggir jalan,” ujar Bang Bo, warga Manggarai Utara VI, yang mengurus pemakaman Khaerunisa.
Sesuai Perda 3/1999 tentang Retribusi, retribusi pemakaman di Blok A VI adalah Rp 4.000 untuk tiga tahun. Bahkan perda itu juga mengatur ‘fasilitas’ bagi orang tak mampu seperti Supriono untuk dibebaskan dari segala biaya pemakaman. Tetapi semua itu hanya ada di atas kertas dan sebatas ucapan pejabat serta politisi DKI ketika mengumbar janji. Pemulung ini harus menunggu uluran tangan warga untuk menguburkan putrinya yang selama ini tinggal di gerobak.

Di makam itu, Kiki –panggilan Muriski– ikut menengadahkan tangan, mendoakan adik semata wayang itu agar diterima di sisi-Nya. Begitu Supriono, matanya berkaca-kaca sambil mulutnya mengucapkan kata amin, menyambut doa yang dibaca oleh Jono, sesepuh warga Manggarai Utara VI.
“Kemulian manusia di depan Allah bukan karena harta bendanya, tetapi karena amalnya. Mudah-mudahan Khaerunisa yang belum berdosa ini diterima di sisi-Nya. Ditempatkan di surga-Nya. Orangtua dan saudara yang ditinggalkan dibukakan pintu rezeki yang lebar,” ujar Jono yang disambut “amin” Supriono dan Kiki.

Doa itu bisa jadi langsung dikabul Allah. Kekuasaan-Nya pun kemudian ditunjukkan dengan gerimis kecil yang membuat suasana terik tiba-tiba menjadi redup. Tetesan air itu membasahi dan menyejukan makam Khaerunisa yang kini telah menjadi bunga surga. (mur/pro)
(kompas)

Originally posted 2014-08-22 08:38:56.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *