Setelah Kau Menikahiku (Bagian IV)
Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bias seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu? Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil berisi teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya. Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi serumpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga aku sulit memisahkan kini dan saat itu.
Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucap kan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kau datang.” “Halo, Pram,” sapaku sembari duduk di hadapannya, tak melepaskan mataku dari senyumnya. Aku tiba-tiba sadar dengan rasa rindu yang lama tak pernah kugubris, dahaga yang bertahun-tahun tak kuizinkan untuk ada. Perasaanku berkecamuk, galau yang belum pernah lagi kurasakan tentang siapa pun juga. Menggelikan sekali kalau seorang perempuan seusiaku masih demikian terguncang karena pertemuan dengan bekas kekasihnya. “Terima kasih mawarnya,” ujarku, sedatar yang mampu kulakukan. Sayangnya getaran di suaraku membeberkan semuanya. “Kau masih ingat.” “Aku tak bisa lupa, meski mau sekalipun,” katanya tersenyum. “Kapan kau pulang?” “Tadi pagi.” “Dengan anak istrimu?” Pram tertawa kecil. “Ini agak memalukan. Tapi aku masih sendiri, Ita.” Jawabann ya begitu mengejutkanku hingga sesaat aku tak tahu harus mengatakan apa. “Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan siapa pun selain denganmu,” senyumnya padam dan di matanya bergelora la gi pesona yang pernah dan mungkin masih bisa meluluhkan hatiku. “Sepuluh tahun aku mencari, dan aku tetap tak bisa menemukan penggantimu.” Aku menunduk, bibirku terkatup erat. Sepuluh tahun lalu, di tempat ini juga, ia melamarku, dan aku menolak. Aku tak bisa membiarkan peluang karier yang telah susah payah kurebut tersia-sia begitu saja, bahkan untuk satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku tak bersedia hanya menjadi bayangannya, terperangkap dan layu di negeri asing, walau ia adalah orang yang menguasai separuh jiwaku. Dan ia pergi. Di awal perpisahan surat-suratnya datang dengan teratur, tak satu pun kubalas. Bertahun-tahun ia tetap mengirim kartu ulang tahun dan Lebaran, yang semua kubakar, sampai aku tak lagi peduli, sampai suatu hari tidak ada lagi kartu yang datang. Dan dengan sedih aku harus mengakui bahwa lelaki sesempurna Pram pun suatu ketika akan melupakanku. “Kau sendiri bagaimana, Ta?” “Aku sekarang editor senior,” jaw aban itu terdengar menyedihkan, hampa makna. Apa artinya seuntai jabatan di sisi… cinta? Kesetiaan? “Selamat!” ia kedengaran t ulus, tapi di hatiku kata itu menyakiti. “Aku selalu yakin kau yang terbaik untuk pekerjaan itu.” “Kau pernah ingin merenggutku dari ini semua,” ujarku lirih. Apa jadinya kalau dulu kukatakan “ya “? Sepuluh tahun bersama Pram, seperti apa? Ia menggeleng. “Aku hanya memintamu memilih.” Matanya tertambat pada cincin di j ari manisku. Suaranya pelan saat ia bertanya, “Kau sudah menikah?” Aku mengangguk. Ia tertawa kecil, agak gugup . “Siapa?” tanyanya lirih. “Idan,” jawabku kaku. “Idan? Irdansyah temanmu?”
“Sahabatku.” “Sahabat mu,” desahnya. “Sudah berapa putramu?” Aku menggeleng. “Belum ada,” bisikku. Pram menatapku lekat. Dua kali ia tampak seolah akan bicara, tapi setiap kali, ia berhenti. Akhirnya, de ngan senyum kecil ia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari sakunya. “Aku…,” dibukanya kotak itu. “…Aku se ndiri menganggap diriku gila, karena membawakanmu ini. Tapi, Ta, maaf kalau aku terus-terang seperti ini, di benakku kau masih Ita-ku yang dulu. Aku tahu dalam sepuluh tahun segalanya bisa terjadi dan kau pasti sudah menikah. Tapi….” Dikeluarkannya sebuah g lang mungil berhias batu-batu semi-mulia. Aku terkesima. “Aku tahu kau suka perhiasan antik. Ada kenalanku yang membuka toko barang antik di Muenchen. Aku membeli ini darinya,” tanpa meminta izinku, ia telah memasangkan gelang itu di tanganku. “Terima kasih,” gumamku terpesona. “Cantik sekali.” “Kau suka?” Aku mengangguk. Dan teringat lagi hadiah ulang tahun dari Idan. ” Kau…. Sebetulnya kau tidak perlu repot-repot…,” suaraku keluar de gan susah payah. “Sebetulnya aku mau membawakanmu karpet antik yang aku yakin akan membuatmu tergila-gila. Aku sudah membelinya karena itu mengingatkanku padamu. Setiap kali aku berbelanja barang antik aku tak bisa tidak mengingatmu,” ia tertawa kecil. “Tapi aku tidak bisa membawanya kesini. Bawaanku sudah banyak sekali. Ibuku memesan oleh-oleh untuk semua sanak famili dalam radius dua ratus lima puluh kilometer.” Aku tersenyum kecil. Tapi dalam benakku berkelebat pertanyaan demi pertanyaan. Apakah Idan tahu hadiah seperti apa yang akan membuatku bahagia? Apa ia mengenal selera dan kegemaranku? Aku menggeleng dalam hati. Tidak. Tidak . Pram masih bicara panjang lebar tentang bisnis yang dilakukannya di Jerman. Aku kembali diingatkan tentang kecerdasan dan keluasan wawasannya. Apalagi sepuluh tahun berada di negara lain telah menjadikan Pram yang dulu kukenal lembut dan peka, semakin lapang hati dan terbuka. Kalau ada yang berubah dalam dirinya, semua itu hanya menjadikannya sempurna. Dan pikiran itu menorehkan nyeri di hatiku. Sudah terlambat, sambatku kepada diri sendiri. Ia bercerita tentang barang-barang antik yang juga jadi salah satu kegemarannya. “Kalau saja kau bersamaku, Ta,” katanya dengan mata berbinar. “Kita bisa menghabiskan waktu mengaduk-aduk Eropa mencari barang antik….” Ia melihat ekspresi wajahku dan berh enti bicara. “Maaf,” katanya sejenak kemudian. “Aku harus kembali ke kantor,” gumamku kaku. “Baiklah. Mau kuantar?” “Aku ada mobil.”
Ia menahan tanganku saat aku hendak berdiri. “Ita, aku tahu semuanya berbeda sekarang. Tapi, kalau kau tidak keberatan, bisakah kita bertemu lagi sekali-sekali selama aku di sini? Aku perlu teman yang bias mengantarku jalan-jalan mengunjungi galeri dan art shop.” Undangan yang sangat menggoda, yang memenuhi benakku serta merta dengan masa lalu dan janji akan se suatu yang lebih istimewa lagi, kalau saja aku bisa mengucapkan ya. Pram membaca keraguanku dan sesaat sorot matanya meredup. “Kita bisa jalan-jalan bertiga, kau, Idan dan aku,” katanya. “Aku tidak punya banyak teman di sini.” ” Aku pikir-pikir dulu,” jawabku cepat-cepat, sebelum hatiku dikuasai kehausan untuk berlama-lama dengan Pram. Pram merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu nama. Di belakangnya ia
menuliskan sederet nomor. “Hubungi aku kalau kau bersedia. Aku menunggu.”
Malamnya aku berbaring di kamar, menatap kartu itu lekat-lekat seperti gadis belia yang sedang mabuk kepayang. Aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bias membohongi hatiku sendiri. Kehadiran Pram membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Pram? Ia mengira dan aku telah meyakinkannya, kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang ia tidak ketahui, pernikahanku dengan Idan hanya sebuah permainan yang bisa kusudahi kapan pun aku mau. Tapi, kalau pun ia tahu, apakah segalanya ak an berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya? Aku ingin tidak memikirkan Pram lagi. Apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi. Tapi, hidup dengan Idan seperti ini selamanya juga tidak mungkin. Semua ini hanya sandi wara yang akan berakhir, cepat atau lambat. Apakah kembalinya Pram s uatu kesempatan kedua yang semestinya kuraih karena mungkin tidak akan pernah ada lagi? Tapi bagaimana? Kiriman bunga kedua datang dua hari kemudian. Aku memikirkanmu. Tahukah ia bahwa aku pun tak bisa menghapuskan senyum, mata, wajah dan suaranya dari benakku? Kotak mawar yang ketiga datang di akhir pekan. Maaf kalau kau menganggapku lancang karena terus mencintaimu. Tapi bisakah kau menghentikan badai? Aku tak bisa. Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri . Aku ingin bersamanya, selamanya. Dan itu mustahil. Sore itu, sebelum aku pulang, kutekan nomor yang sudah kuhapal di luar ke pala itu. “Kalau kau ada waktu, kita bisa melihat pameran lukisan di galeri baru dekat kantorku.” “Kau yang menentukan apa aku punya waktu atau tidak, Ita.” Dan esok harinya kuhabis kan bersama Pram, mendiskusikan lukisan dan benda seni, sesuatu yan g lama ingin kuulangi lagi. Aku tak bisa memungkiri betapa menyenangkannya bercakap-cakap dengan Pram, membicarakan seribu satu hal yang tak pernah kusinggung saat bersama Idan. Setelah lama membicarakan masalah seni rupa, Pram tiba-tiba bertanya. “Kenapa kau menikah dengan Idan?” “Kenapa kau bertanya?” “Seingatku, ia bukan tipemu.” Aku tertunduk.
“Kenapa, Ita?” “Idan mencintaiku” bisikku pelan. “Apa kau mencintainya.” Kebisuanku mem berinya jawaban. “Apa kau bahagia?” lanjutnya lirih. Kutatap matanya yang teduh dan hangat. “Ya.” “Jangan berbohong.” “Idan suami yang baik.” “Tapi apa kau bahagia?” Bagaimana mengatakan bahwa aku tidak pernah merasa sebahagia saat itu, melewatkan waktu bersamanya? “Berapa lama kau menikah dengan Idan?” “Setahun.” “Maaf kalau ini menyinggung perasaanmu. Tapi apa kau menikahinya karena terpaksa? Karena usia dan….” “Stop.” Aku bangkit dan meninggalkannya. Maafkan aku kalau perasaanmu terluka karena pertanyaanku. Tapi bisakah kau renungkan perasaanku sendiri? Bagaimana hatiku tersiksa ketika tahu pernikahan tidak membuatmu bahagia? Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya k abur dalam genangan air mataku. “Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan. “Ada apa?” “Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.” Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar ba wa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku. “Idan.” “Upit? Ada apa pagi-pagi begini?” “Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku-walaupun hanya simulasi-bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan. “Ya?” desak Idan. “Aku…. Idan, kau kenal Indri, kan?” “Sekretarismu? Tentu.” “Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.” “Lalu?” “Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.” “Tapi Indri sudah punya anak dua kan?” “Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.” “Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?” Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.” “Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku b isa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, “Tungg u sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istr iku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi. “Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon. “Karena kau yang membuatkan kopi?” “Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bi sa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.” “…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?” “Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.” “Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.” “Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?” “Keadaan.” “Maksudnya?” “Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.” “Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?” Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meningg alkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.” “Lantas aku mesti bilang apa?” “Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.” “Kau sama sekali tidak membantu,” desahku. “Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.” “Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.” “Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk member imu saran yang tak berguna.” Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.” “Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus p ergi. I love you, Darling!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sed ikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri saya ….” Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri
Originally posted 2007-03-02 09:26:52.
btw…ini ceritanya udah tamat or masih nyambung lagi yach????
Masih ada episode terakhirnya…. 🙂