TEORI JENDELA PECAH

Empat orang pemuda ditembak dalam kereta api bawah tanah. Si penembak yang menyerahkan diri seminggu kemudian dielu-elukan masyarakat sebagai pahlawan mereka. Goetz, si penembak itu, dijuluki tabloid-tabloid sebagai “Pengawal Kereta Bawah Tanah” dan “Malaikat Maut Bagi Penjahat”. Memang para pemuda yang ditembak itu adalah kelompok berandal pemeras yang sering melakukan kejahatan di kereta api bawah tanah. Tetap saja si penembak tadi dihukum karena melakukan main hakim sendiri. Rakyat marah, tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Hukum adalah hukum. Si penembak harus meringkuk dalam penjara. Beberapa tahun kemudian terbukti para pemuda yang ditembak tersebut adalah para pelaku kejahatan mulai dari pencurian, perampokan, hingga penganiayaan. Salah seorang diantaranya yang bernama Ramseur, dua tahun setelah penembakan tersebut dijatuhi vonis 25 tahun penjara karena pemerkosaan, perampokan, sodomi, pelecehan seksual, penganiayaan, kejahatan bersenjata api, dan pe milikan barang
curian. Sulit menerima bahwa yang dulu dianggap korban kekerasan ini ternyata juga pelaku kekerasan. Demikianlah potret buram fasilitas subway di New York tahun 1984. Masyarakat takut menggunakan kereta bawah tanah yang suram penuh coretan grafiti, kotor, dan banyak banditnya. Masyarakat dan pemerintah sama frustasinya dengan kondisi buruk itu. Selama tahun 80-an kriminalitas di New York City mencapai rata-rata lebih dari 2000 pembunuhan dan 600.000 tindak kekerasan serius dalam setahun.
Namun secara mendadak situasi tersebut berubah drastis di awal tahun 90-an. Di tahun 1996 kejahatan menurun drastis menjadi sepertiga. Kekerasan di kereta bawah tanah bahkan turun sebanyak 75 persen. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Untuk kasus kereta bawah tanah penurunan ini dimulai dari penerapan teori Jendela Pecah (Broken Windows) yang digagas oleh kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling. Wilson dan Kelling berpendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika sebuah jendela rumah pecah dan dibiarkan saja, siapapun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di situ tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni.
Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Di sebuah kota, awal yang remeh seperti coret-coret, ketidakteraturan, dan pemalakan, kata kriminolog itu, semua setara dengan jendela pecah, yaitu ajakan untuk berbuat kejahatan lebih serius.
Pemalak dan penodong, entah amatiran atau profesional, percaya bahwa peluang mereka untuk tertangkap atau diadukan ketika beroperasi di jalanan berkurang bila mereka memberikan ancaman yang cukup kepada calon korban. Jika masyarakat di suatu tempat tidak mampu mengatasi pemalak yang beroperasi di jalanan, pencuri dan perampok pun akan berkesimpulan bahwa orang di situ tidak akan langsung menghubungi polisi atau mengadukan mereka andaikata kejahatan itu mereka laksanakan.
Ini sebuah teori epidemi untuk kejahatan. Menurut teori ini kejahatan bersifat menular persis seperti trend mode pakaian sehingga dengan awal yang remeh seperti memecah sebuah kaca jendela, perbuatan yang sama segera menyebar ke seluruh wilayah.
Pada pertengahan 80-an, kriminolog George Kelling disewa oleh New York Transit Authority sebagai konsultan, maka ia meminta jawatan itu untuk menerapkan teori Broken Windows di jaringan kereta bawah tanah. Direktur baru yang ditunjuk mengurus hal itu, David Gunn, menerapkan teori tersebut dengan fokus melawan grafiti di kereta bawah tanah. Banyak pejabat di direktorat kereta bawah tanah yang menganjurkan agar dia lebih memusatkan perhatian kepada kejahatan yang lebih serius daripada mengurus masalah corat-coret. Gunn tetap bertahan, “Coret-coret ini merupakan simbol keambrukan sistem ini,” katanya.
Maka Gunn melancarkan aksi melawan corat-coret. Dia tahu bahwa remaja yang melakukan grafiti memerlukan 3 hari untuk memoles dinding gerbong dengan cat putih, menunggu kering, dan menggambarnya di hari ketiga. “Begitu mereka selesai menggambar, malamnya kami cat lagi gerbong tersebut sehingga keesokan harinya tak ada yang sempat melihat karya mereka,” demikian kata Gunn. Ketika sebuah gerbong dicorat-coret, maka corat-coret itu dihilangkan selama masa istirahat, atau gerbong itu tidak dioperasikan dulu. Gagasan di balik kebijakan itu adalah menyampaikan pesan yang gamblang kepada para vandal, bahwa mereka tidak disukai.
Program pembersihan grafiti oleh Gunn sudah berlangsung sejak 1984 hingga 1990 saat Transit Authority mengangkat William Bratton sebagai komandan polisi kereta bawah tanah yang baru. Seperti halnya Gunn, Bratton juga penganut teori Broken Windows. Alih-alih fokus pada kejahatan serius, dia justru fokus untuk membasmi kebiasaan remeh yaitu naik kereta tanpa karcis. Menurutnya, naik kereta tanpa karcis juga merupakan simbol ketidakteraturan yang menjadi pangkal pelanggaran- pelanggaran yang lebih serius. Hasilnya luar biasa. Penjagaan pada gerbang tiket menghasilkan penangkapan- penangkapan yang tak diduga sebelumnya. Setiap penangkapan ibarat membuka kotak hadiah yang penuh kejutan. Mainan apa yang didapat hari ini? Senjata api? Pisau? Karcis palsu? Uang palsu? Bahkan kadang-kadang ada tersangka pembunuhan. Tak lama kemudian orang-orang jahat mulai berpikir lebih panjang, setidaknya meninggalkan senjatanya dan membayar karcis ketika naik kereta.
Tahun 1994 Bratton diangkat menjadi Kepala Kepolisisan New York City oleh walikota yang baru Rudolph Giuliani. Bratton tetap melakukan strategi yang sama, memberantas perbuatan-perbuatan kecil yang mengganggu ketentraman, termasuk bahkan menangkap para tukang lap kaca mobil di perempatan jalan yang kemudian meminta uang jasa ke pengendara. “Kami mulai menegakkan hukum dalam kasus-kasus ringan seperti mabuk-mabukan di tempat umum, buang air kecil sembarangan, termasuk membuang botol di jalanan,” demikian kata Bratton. Ketika kriminalitas mulai menurun di kota itu, secepat penurunan di kereta bawah tanah, Bratton dan Giuliani menunjuk ke sebab yang sama. Kejahatan-kejahatan kecil, pelanggaran- pelanggaran remeh, yang lazimnya dianggap tidak signifikan, kata mereka, merupakan titik lenting (tipping point) menuju kejahatan-kejahatan besar. Demikianlah seperti dikutip dari buku Tipping Point tulisan Malcolm Gladwell.
PLAYBOY SEBAGAI SIMBOL
Seperti yang dikatakan Gunn dan Bratton, corat-coret dan pelanggaran tiket walaupun tampak kecil dan remeh sebenarnya adalah ‘simbol’ keambrukan sistem. Bagaimana dengan kasus yang sedang marak tentang ijin majalah Playboy Indonesia?
Yang menjadi masalah utama dengan Playboy bukan sekedar ‘keberanian’ gambarnya. Kata pihak Playboy, ada majalah yang lebih vulgar dari mereka toh juga diijinkan? Ya, boleh jadi ada majalah lain yang lebih vulgar daripada Playboy, namun yang menjadi esensi keberatan masyarakat luas sebenarnya dipicu oleh posisi Playboy sebagai simbol. Playboy adalah ‘simbol dunia’ majalah erotisme (dan memang itulah yang diinginkan pendirinya).
Brand name Playboy identik dengan erotisme, apapun isi di dalamnya apakah mungkin teknologi, tips kesehatan, atau apapun yang saya tidak tahu. Begitu disebut Playboy, maka yang tergambar dalam benak masyarakat luas adalah kontes aurat dan erotisme.
Playboy adalah simbol budaya erotisme. Mengijinkan Playboy versi Indonesia walaupun misalnya hanya untuk kalangan terbatas sama halnya mengesahkan simbol budaya erotisme itu untuk menjadi budaya sah bangsa Indonesia. Dengan kata lain, bila Playboy diijinkan maka secara sah kita mengakui bahwa nilai luhur bangsa ini bukan lagi agama, karena tak ada agama yang mengesahkan erotisme sebagai suatu nilai luhur.
Ada sementara pihak yang berlindung dengan dalih nilai seni. Dalam hal ini kita perlu tegas bahwa nilai seni erotisme bukanlah nilai luhur agama. Selama nilai seni tidak bertentangan dengan agama maka nilai tersebut sah-sah saja sebagai nilai luhur bangsa. Namun ‘nilai seni erotisme’ jelas bertentangan dengan nilai luhur agama. Selain itu, menyamakan nilai seni erotisme dengan seni yang lain sama saja dengan merendahkan masyarakat seni.
Mengapa kita menjunjung nilai luhur agama sebagai nilai bangsa? Karena inilah dasar hukum utama negara kita yang dituangkan lewat Pancasila sila pertama. Semua hukum di Indonesia harus tunduk kepada nilai hukum dasar negara ini.
Apa akibatnya bila Playboy Indonesia diijinkan? Kembali ke teori Broken Windows, hal remeh ini akan menjadi awal uji kasus untuk memberi toleransi kepada bisnis dan budaya erotisme yang lebih dahsyat karena Playboy adalah simbol utama erotisme. Boleh jadi nantinya akan terjadi tuntutan hak oleh sebagian kalangan (dengan dalih hak asasi) untuk membuka klub striptease dan semacamnya yang jelas-jelas semakin merusak moral bangsa kita ini. Ijin Playboy Indonesia bisa menjadi tipping point keruntuhan moral bangsa.
Tapi, bukannya Playboy ini direncanakan hanya beredar di kalangan terbatas? Kita harus kembali ingat teori Broken Windows bahwa menurut teori ini kejahatan bersifat menular persis seperti trend mode pakaian sehingga dengan awal yang remeh seperti memecah sebuah kaca jendela, perbuatan yang sama segera menyebar ke seluruh wilayah. Playboy ibarat kaca pecah. Sangat mungkin dengan diijinkannya Playboy akan merembet ke seluruh lapisan masyarakat sebagai pembenaran kolektif bahwa nilai erotisme sudah diterima sebagai nilai luhur budaya bangsa ini. Yang terbatas awalnya hanya pembacanya, padahal di balik itu ada percetakan, model, agency, penulis, distribusi, dan berkali lipat orang lainnya yang terlibat. Bagaimana halnya dengan majalah Palyboy bekas? Bagaimana dengan para pengantarnya? Bagaimana dengan para pedagangnya? Yang dianggap terbatas itu hanyalah puncak gunung
es dari komunitas yang jauh lebih besar. Kelompok khusus penikmat erotisme ini sebenarnya tak perlu dikasihani. Selama ini mereka sudah mencarinya dengan berbagai cara, sama sekali tak perlu dikasihani dengan majalah erotis versi resmi Indonesia.
BELUM MAMPU TAK BERARTI SETUJU
Seringkali ketidakmampuan sistem dimanfaatkan sebagian pihak sebagai dalih hukum. Misalnya, karena tidak mampu menanggulangi prostitusi, maka dilegalkan saja menjadi lokalisasi. Demikian pula ketidakmampuan sistem saat ini untuk menanggulangi majalah kuning dan tayangan erotis di televisi digunakan sebagian pihak menjadi dalih kelayakan Playboy dan majalah semacamnya.
Harus terus kita ingat bahwa tidak mampu bukan berarti setuju! Selama ribuan tahun telah terjadi prostitusi, tapi bukan berarti kita berhak melegalkan prostitusi. Selama ribuan tahun terjadi kejahatan, bukan berarti lalu kita legalkan kejahatan. Dan kini kita belum mampu menanggulangi gelombang budaya erotisme, bukan berarti lalu kita melegalkannya. Hukum harus tegas dan punya acuan dasar yang jelas. Di negeri ini kita bisa merujuk dasar negara dan undang-undang dasar sebagai acuan nilai, jika pun kita ragu dengan universalitas nilai luhur agama. Bagi orang dengan kecerdasan spiritual (SQ) tinggi, ditinjau dari dasar-dasar hukum itu sudah jelas bahwa erotisme tak layak menjadi nilai luhur bangsa ini. Nilainya sama halnya dengan penyalahgunaan narkotika yang selamanya tak akan diakui agama sebagai nilai luhur.
Dengan tulisan ini kiranya wakil rakyat di DPR dan juga pemerintah menjadi semakin yakin untuk lebih tegas menolak ijin Playboy tersebut. Ini bukan masalah remeh karena bisa memicu bencana moral yang besar. Bangsa ini sudah kehilangan banyak hal untuk dibanggakan, semoga tidak dibuat semakin kehilangan jati diri.
Harry Prasetya, ST
Departemen Keuangan R.I.
Ditjen Piutang dan Lelang Negara

Originally posted 2011-02-28 19:11:11.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *