Terus Terang Lebih Baik
Entah sudah berapa lama Rani menyimpan perasaannya sendiri. Adi, suami yang menikahinya setahun lalu sama sekali tidak tahu. Rani sendiri bingung, mengapa sampai saat ini ia merasa belum bisa ‘menerima secara penuh’ Adi sebagai suami. Padahal dulu ketika Adi ‘ditawarkan’ oleh Tika, sahabat dekatnya, ia dengan yakin bisa menerima Adi walaupun belum pernah kenal sebelumnya. Tetapi sekarang? Malah Rani jadi lebih sering teringat kepada Rudi, seseorang yang pernah mengisi hatinya sebelum ia memutuskan memaki busana muslimah. Rudi lebih tampan, lebih ekspresif dalam menunjukkan perasaannya, dan ini yang jauh perbedaannya dengan Adi, penghasilannya sebagai manajer sebuah perusahaan swasta jauh lebih besar dari penghasilan Adi yang bekerja sebagai dosen.
Apa yang terjadi pada Rani? Agaknya Rani memiliki harapan tersendiri mengenai ‘sosok seorang suami’. Kelihatannya, sosok suami harapan Rani itu sangat dipengaruhi oleh figur yang pernah dekat dengannya, yaitu Rudi. Ketika memutuskan menerima Adi, boleh jadi sebenarnya ia mengharapkan Adi memiliki keadaan yang tidak berbeda atau minimal mendekati Rudi. Sayangnya, ketika masa perkenalan (ta’aruf) dulu Rani tidak berterus terang baik kepada Adi maupun Tika sahabatnya tentang keadaan dirinya yang pernah dekat dengan seseorang, juga tentang keinginannya terhadap sosok seorang suami. Akibatnya, karena mendapati Adi tidak seperti yang ia harapkan, sepanjang pernikahannya Rani terbayang-bayang terus oleh sosok Rudi. Sungguh kasihan! Ya, Rani patut dikasihani karena dua hal, pertama karena sikapnya yang tidak bisa menerima Adi dengan ikhlas akan terus membuatnya menderita lahir batin. Dan kedua, karena dengan membayangkan orang lain padahal ia telah bersuami jelas membuatnya berdosa!
Menjalani pernikahan tidak semudah membalik telapak tangan. Bayangkanlah, kita yang terbiasa mengurus diri sendiri, punya rutinitas sendiri, punya kebiasaan sendiri, punya kamar sendiri, setelah menikah harus merubah ‘kesendirian’ itu dengan serba ‘berdua’ dengan pasangan. Belum lagi bila ternyata kebiasaan pasangan berbeda dengan kebiasaan kita. Tetapi itu masalah kecil. Ada masalah yang lebih substansial berkaitan dengan ‘hidup berdua’. Itulah masalah harapan, keinginan, cita-cita atau idealisme masing-masing. Terhadap apa? Bisa harapan terhadap pasangan, bisa terhadap pernikahan.
Tiap orang pasti mengharapkan pernikahannya bahagia, langgeng bukan hanya sampai kakek nenek, bahkan sampai akhirat. Kemudian tentang harapan terhadap pasangan. Sangat manusiawi jika seorang laki-laki menikah mengharapkan istri yang penuh perhatian, penuh kelembutan, tidak boros, penuh kasih sayang sekaligus teman diskusi yang ‘nyambung’. Juga sangat wajar jika seorang perempuan menikah menginginkan suami yang sabar, perhatian, pengertian, tegar, punya kemampuan memberi nafkah. Ya, semua harapan itu manusiawi dan wajar.
Memiliki harapan atau keinginan atau idealisme itu tidaklah salah. Bahkan, tidak jarang harapan itu justru menjadi motivasi luar biasa bagi orang untuk bekerja keras, berjuang dan berkorban. Lantas, di mana letak masalahnya? Masalahnya adalah pertama, apakah kita menyadari bahwa untuk mencapai harapan itu perlu kerja keras, perjuangan bahkan pengorbanan? Kedua, apakah kita siap jika kemudian harapan itu tak bisa kita wujudkan?
Berterus Teranglah Pada Calon Pasangan Anda
Bagaimana membuat harapan Anda terhadap pernikahan dan pasangan dapat terwujud? Tentu perlu kerja keras, perjuangan dan pengorbanan. Tetapi, ingatlah sebenarnya semua dapat diawali dengan satu langkah penting, yaitu berterus terang. Ya, ketika Anda memutuskan untuk menerima seseorang sebagai calon pasangan Anda, apalagi bila Anda merasa blum terlalu mengenalnya berterus teranglah kepadanya tentang:
1. Kepribadian, sifat, karakter, termasuk kelebihan dan kekurangan Anda. Kalau perlu buatlah semacam ‘profil diri’, deskripsikan diri Anda apa adanya, seobyektif mungkin.
2. Persepsi atau pandangan Anda terhadap pernikahan. Misalnya bagi Anda pernikahan adalah ibadah, atau pernikahan adalah dakwah dan lain-lain.
3. Keinginan Anda terhadap pernikahan. Misalnya, katakan terus terang bahwa Anda tidak ingin pernikahan membuat aktifitas Anda terhenti, bahkan sebaliknya, Anda ingin didukung. Atau, katakan Anda bersedia menjadi istri di rumah, bersedia untuk melepaskan semua aktifitas setelah menjadi istrinya. Apapun keinginan Anda, katakanlah dengan terus terang sebelum pernikahan terjadi!
4. Harapan Anda tentang ‘sosok seorang suami/istri’. Katakan saja Anda menginginkan seorang suami yang penyabar, penuh pengertian, pintar dan lain-lain. Jangan seperti Rani yang tidak punya keberanian untuk berterus terang tentang sosok suami yang ia inginkan.
5. Kondisi orang tua Anda, termasuk harapan mereka. Misalnya orang tua Anda menginginkan calon menantu yang bukan hanya sudah bekerja, tapi juga berpenghasilan cukup. Tidak perlu takut dicap ‘matre’. Dan kalau Anda sendiri tidak sependapat dengan orang tua Anda, katakan juga kepadanya dengan jelas.
6. Jangan lupa, setelah Anda berterus terang tentang lima hal di atas, mintalah kesediaan calon Anda untuk melakukan hal yang sama! Ingatlah, pernikahan yang diawali dengan keterusterangan dari kedua belah pihak akan melahirkan kejelasan. Tidak seperti kata pepatah, ‘seperti membeli kucing dalam karung’.
Apa yang terjadi setelah kedua belah pihak calon suami istri mendengar keterus terangan masing-masing? Ada beberapa kemungkinan, misalnya calon Anda akan terkaget-kaget lalu mengatakan ia akan pikir-pikir dulu. Kalau ini yang terjadi berikan ia batas waktu. Lalu jika kemudian ia membatalkan pinangannya? Tidak perlu gusar, berarti ia memang tidak siap menerima Anda apa adanya, dan menjadi jelas, dia bukan jodoh Anda.
Seperti sabda Rasulullah SAW, “Katakanlah kebenaran itu walaupun pahit”, berterus terang kepada calon pasangan memang berat, tetapi percayalah, keterusterangan akan membuat Anda tenang dan membantu Anda untuk menghadirkan keikhlasan dalam menerima calon pasangan Anda!
Originally posted 2015-11-02 23:54:22.