Willy Si Raksasa

Tingginya sekitar dua meter dan beratnya seratus lima puluh kilo.
Desas-desus yang beredar mengatakan bahwa ia pernah membunuh orang dengan
tangan kosong – baginya, mudah sekali bila ia ingin mengambil nyawa orang
lain. Itulah reputasi yang membuatnya disegani di kota urakan tempat kami
dibesarkan. Ketika usianya lima belas tahun, Willy telah menjadi legenda.
Aku dan Willy bermain bersama sejak kami masih mengenakan popok, walaupun
kami pasangan yang sangat tidak serasi. Ia seorang raksasa hitam yang tinggi
besar sedangkan aku si bundar berkepala merah. Kami berdua bekerja di
sebuah pabrik yang ada di kota itu – aku di kantor, sedangkan Willy di
tempat bongkar muat. Bahkan orang paling keras yang bekerja bersama Willy
takut kepadanya.
Ia mengawalku agar aman sepulang dari tempat kerja dan aku terus menjaga
rahasianya tiap malam, sebab bukannya keluyuran keliling kota dan memukuli
orang, sebetulnya ia malah langsung pulang ke rumah dan dengan sayang ia
mengangkat neneknya yang sudah tua dari kursi yang tak dapat
ditinggalkannya, lalu membaringkannya di tempat tidur. Ia biasa membacakan
cerita untuknya sampai ia terlelap, dan pada pagi hari, ia akan menyisiri
rambutnya yang sudah tipis, berwarna kelabu, memasangkan pakaian malamnya
yang indah, yang dibelinya dengan uang yang diperoleh dari pabrik panci, dan
mendudukannya kembali ke kursi.
Willy telah kehilangan kedua orangtuanya yang meninggal karena narkotika,
sehingga ia hanya tinggal berdua neneknya. Ia merawatnya, sedangkan sang
nenek memberinya alasan untuk tetap bersih. Tentu saja, tidak ada sedikit
pun yang benar dalam kabar burung itu, tetapi Willy tidak pernah membantah.
Ia membiarkan saja setiap orang mempercayai yang mereka percaya, dan
walaupun setiap orang menganggapnya sama seperti pemuda jalanan lain, tidak
seorang pun berani mengganggunya.
Pada suatu hari, dalam mata pelajaran Peradaban Barat, guru kami membacakan
keras-keras sebuah kutipan dari karya Machiavelli, The Prince: “Since love
and fear cannot exist together, if we must choose between them, it is far
safer to be feared than loved.” (Karena cinta dan rasa takut tidak dapat ada
secara bersamaan, maka jika kita harus memilih di antara keduanya, lebih
aman bila kita merasa ditakuti daripada dicintai.) Aku menengok ke belakang
ke arah Willy sambil mengerdipkan mata. “Itu kau,” kataku. Ia hanya
tersenyum.
Keesokkan harinya, karena suatu urusan aku tinggal beberapa menit lebih
lama di sekolah sehingga Willy berangkat lebih dahulu. Tidak begitu jauh
dari pabrik panci, lima buah truk berjajar di jalanan dan asap hitam tebal
membumbung tinggi ke angkasa. Seorang anak kecil tampak terbungkus dalam
sebuah kemeja flanel kotak-kotak merah-hitam yang sangat kukenal. Ia berada
dalam pelukan seorang wanita yang sedang menangis. Wanita itu tengah
berbicara dengan seorang petugas pemadam kebakaran dan seorang wartawan yang
bertugas meliput berita malam.
“Raksasa itu mendengar bayi menangis, ia langsung datang dan menemukan
kami,” katanya di antara tangis haru. “Ia membungkus bayi kami dengan
kemejanya untuk melindunginya, dan ketika sirine terdengar, ia sudah lari
entah ke mana.”
“Apakah Anda sempat menanyakan namanya?” tanya sang wartawan.
“Ya, tapi entahlah,” sahut wanita itu. “Katanya ia bernama Machiavelli.”
Malam itu, koran setempat langsung menawarkan hadiah kepada siapa pun yang
mempunyai informasi tentang identitas Orang Samaria Yang Baik itu. Tidak
seorang pun datang untuk menerima tawaran tadi.
(Nancy Bouchard – Chicken Soup for the Unsinkable Soul)

Originally posted 2011-07-20 11:39:22.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *