Putri Kecilku Berlari Menjemput Maut

Ini kisah nyata yang sangat menyentuh hati, dan sebagai pengalaman berharga. Saya membagikannya untuk anda semua, selamat membaca. YB
Putri Kecilku Berlari Menjemput Maut
Semua yang diberikan Tuhan akan kembali kepada-NYA. Jika sudah ditakdirkan, buah hati, anugrah terbesar yang dititipkan Nya untuk dirawat dan dibesarkan, pun bisa terenggut dari tangan orang tuanya. Seperti yang
dialami pasangan M. Denny Abe (32) dan Henna Hennyastuty (30), yang
harus ikhlas melepas kepergian putri pertama mereka, Norifumi Sophie
Rachmania (2 tahun 8 bulan), akibat ditabrak mobil. Berikut ini penuturan Henna,
ibunda Sophie, mengenang masa-masa indah bersama sang buah hati.
TANGAN MUNGIL ITU TAK SEMPAT KURAIH
Saat mendapat berita gembira ttg kehamilan pertamaku, aku bersama suami langsung sujud syukur. Pada 12 Desember 2000, putriku lahir. Rasanya aku mengalami kebahagiaan yg tiada tara. Ia adalah sosok mngil pemberi semangat, sekaligus penghibur dalam kehidupan kami yg pas-pasan kala itu. Demi dialah kami bertahan menjalani hari demi hari.
Hidup kami rasanya makin lengkap dengan keberadaannya. APalagi, ditambah kehadiran anak kami yg kedua, M. Noriyuki Fachrurazi atau Yuki (1,6). Kehidupan keluarga kami terasa kian harmonis. Setiap akhir pekan, kami sekeluarga selalu pergi berjalan-jalan. Entah itu ke arena permainan anak-anak, ke mal, atau hanya makan bersama di restoran siap saji.
Sampai pada suatu akhir pekan kelabu itu, yang membuat acara akhir pekan kami tak bisa lagi sama. Hidup kami rasanya langsung jungkir balik…. Sabtu sore (30/08) itu, kami tidak langsung pergi jalan-jalan. Berhubung minggu depannya ada saudara yang akan menikah, aku mengajak singgah ke tempat penjahit langganan terlebih dahulu yang terletak di Jalan Sawo Kecik, Bukit Duri, Jakarta.
Sebetulnya yg turun di situ cukup aku saja. Tapi, Sophie bersama tantenya (adikku) ikut turun. Yuki tinggal di mobil bersama suamiku. Jalanan disekitar tempat itu memang tidak terlalu lebar, hanya tiga meter.
Lokasinya, sih, lebih mirip gang, tapi mobil bisa lewat dari dua arah, meskipun mepet. Jalan itu, kecil tanpa trotoar, tapi suasananya ‘hidup’. Kendaraan umum seperti mikrolet banyak yang melewati jalan itu.
Ketika aku sedang asyik menerangkan design baju yg kuinginkan pada penjahit, adikku berkata, “Teh, aku ambil Yuki dulu, ya,” ucapnya. Aku mengiyakan saja. Sayangnya, aku tidak menyangka Sophie mengikuti tantenya. Sekilas aku masih melihat Sophie menyusul langkah adikku. Ternyata, setelah aku lihat lebih jelas, adikku sudah berada di seberang jalan, sedangkan Sophie baru saja hendak menuju ke jalan. Secepatnya, aku mencoba menyusul dan berusaha meraih tanggannya. Belum sempat kuraih, dia terus berjalan. Dalam hati, aku berdoa, semoga tidak ada mobil yang lewat. Perasaanku pun deg-degan.
Tiba-tiba, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi datang. Buum! Tubuh Sophie dihantamnya, tepat di depan mataku. Ya Tuhan….! Hanya selang beberapa detik, aku melihat tubuh Sophie terpental sekitar 50 meter di depan mobil tadi. Belum sempat aku berbuat apa-apa, mobil yang melaju itu – sepertinya pengemudinya tidak bisa mengerem – kembali menerjang tubuh anakku yang terbaring di jalan. Melihat kejadian itu, tak kuasa aku untuk berteriak, walaupun hatiku menjerit kencang. Aku seperti dipaku ditempat. Shock!
Peristiwa itu terjadi di depan mata kami semua: aku, suami, anakku, dan adikku. Kami lantas berlarian kearahnya. pedih sekali rasanya melihat bidadari kecilku berlumuran darah, merintih kesakitan sambil mengucap dengang lirih,”Ayah…Ayah…Ayah…”
Kami berebut masuk ke mobil, melarikannya secepat mungkin ke Rumah Sakit Mitra Internasional di Kampung Melayu yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kejadian. Sepintas, aku masih melihat mobil yang menabraknya tidak bergerak. Pengendaranya, seorang wanita berusia kurang dari 40 tahun, terlihat masih Shock. Suamiku mengklakson mobilnya berulang-ulang agar menepi, memberi jalan buat kendaraan kami. AKhirnya dengan bantuan orang-orang disekitar lokasi itu, mobil wanita tersebut bisa dipinggirkan. Di mobil, Sophie masih dalam keadaan sadar. Dia terus merintih. Wajahnya kebam-lebam. Aku tahu, betapa sakitnya dia. Melihat itu, rasanya aku ingin mati saja. Aku cuma bisa bilang, “Kakak tahan, ya,” untuk menenangkannya.
MIMPI BURUK DUA MALAM BERTURUT-TURUT
Sampai di rumah sakit, Sophie langsung masuk ke ruang UGD dan mendapat perawatan intensif. Kami bersyukur Sophie dapat ditangani dengan cepat, tanpa harus melewati prosedur segala macam. Aku terus menagis sambil menunggu kepastian dari dokter. Perasaanku galau. Beberapa jam kemudian dokter yang menanganinya keluar dari ruang operasi. “Kondisi anak ibu sangat kritis. Paru-paru kananya pecah, kedua tulang bahunya rontok, tulang rusuk retak, dan di tengkorak pangkal otaknya juga retak. Kami belum bisa berharap banyak,” ujar dr. Antonius, spesialis anak. Setelah mendengar penjelasan itu, pandanganku langsung buram, lututku lemas, dan hati ini rasanya seperti ditusuk-tusuk.
Keluargaku sepertinya sudah pasrah mendengar vonis dokter. Tapi, aku belum menyerah. Aku terus berharap, malaikat mungilku bisa kembali ke pelukanku. Aku terus berdoa agar beberapa opersai yang dijalaninya hari itu mebawa mukjzat. Lewat jendela kamar, kupandangi sosok mungil itu. Sedih sekali melihat tubuhnya harus ‘dilubangi’ untuk mendapat bantuan perawatan dari mesin. Kenapa bukan aku saja yang menggantikannya? kurasakan, air hangat mengalir dari kelopak mataku.
Sambil memandanginya, aku teringat peristiwa Sabtu pagi itu. Ayahnya bercerita tentang mimpi yang dialaminya dua malam berturut-turut. Mungkin itu firasat ayahnya. Mimpi pertama, ayahnya memimpikan Sophie meninggal dunia. Dia melambaikan tangannya sambil tersenyum. Padahal, menurut mitos, mimpi itu artinya orang yang dimimpikan malah panjang umur. Malam kedua, dia melihat air bah yang bening, sekitar 50 meter. Dia menyelamtkanku dan sikecil, Yuki. Tapi, Sophie tidak ada. Saat suamiku menceritakan kepadaku, aku hanya tertawa saja, dan mengatakan bahwa itu hanya bunga tidur, tidak berarti apa-apa. Siapa sangka kami akan mengalami hal ini?
Hari Minggu-nya, ternyata masa kritis Sophie bisa dilewati, meskipun 90% fungsi tubuhnya masih dijalankan oleh mesin. Kondisinya belum membaik, tapi harapanku muncul kembali.Keesokan harinya, fungsi tubuhnya sudah mulai membaik. Paginya, dia hanya mendapat bantuan mesin 40% saja. Siangnya malah lebih baik lagi, hanya 10%. Secara umum, kondisi tubuhnya mulai membaik, jantungnya bekerja sendiri, paru-parunya sudah berfungsi kembali. Rasanya bahagia sekali, sepertinya doa-doaku terjawab.
Sambil menunggui di samping tempat tidurnya, aku sring menyanyikan lagu anak-anak kesayangannya. Sophie memang suka sekali menyanyi. Sepertinya aku juga mendengar suaranya mengikuti irama lagu yang kunyanyikan.
Tapi, kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama. Ada satu bagian luka yang tidak terlihat oleh dokter. Di bagian otaknya terdapat rembesan darah yang tidak terdeteksi. Hal ini menyebabkan dia kejang dan kondisinya kembali memburuk. hatiku cemas sekali. Aku terus berdoa kepada Tuhan agar diberikan kesempatan kedua untuk merawatnya lagi. Aku masih yakin, Sophie akan kembali sehat, apalagi aku melihat usaha keras dr. Antonius. Jantungnya masih terus dipompa.
Namun, takdir berkata lain. Saat melihat dia mengembuskan napas terakhir, aku masih belum percaya dia sudah pergi untuk selama-lamanya. Aku terus berteriak, “Kakak pulang, ya. Kakak cepat pulang lagi, ya,” jeritku tidak rela melepasnya. Bude-ku yang sudah lama berada di sampingku berkata sambil menepuk pundakku, “Likat, Sophie tersenyum.” Aku melihatnya. Ternyata benar, dia tersenyum manis. Melihat itu, rasanya aku ingin mendekati untuk memeluknya dan tak akan kulepaskan lagi. Tapi, aku hanya bisa memandanginya dari balik jendela ruang ICU. Akhirnya, tepat pukul 16.40, Sophie dinyatakan telah tiada.
PEMBAWA BERKAH KELUARGA
Kini, yang bisa kulakukan hanyalah mengenangnya. Aku masih ingat kala pertama kali menggendongnya di pelukanku. Rasanya bahagia sekali,
sekaligus lega, sebab proses kelahirannya tidak semudah yang kubayangkan. Setiap kontraksi, aku hampir pingsan, karena tidak kuat menahan sakit. Tapi, dokter yang membantu persalinanku sangat sabar. Keputusan untuk
dioperasi caesar pun sudah di depan mata. Tetapi, tak berapa lama, dengan cara divakum bayi perempuan mungil itu akhirnya keluar juga.
Kami memberinya nama Sophie, sesuai dengan nama dokter yang menolong persalinanku. Norifumi juga nama yang sangat unik, artinya malaikat. Dia memang malaikat kecil kami.
Semua orang dalam keluargaku menyayangi Sophie. Perilakunya yang riang dan lincah selalu membuat hati setiap orang yang melihatnya ikut gembira. Aku sangat bersyukur akan kehadirannya dalam kehidupan kami.
Dia anak yang sangat mengerti orang tua. Tidak banyak permintaan dan selalu menurut kepada orang tuanya.
Sejak bayipun Sophie tergolong anak yang kuat. Tidak gampang jatuh sakit. Saat ayahnya masih bergabung dengan kelompok lawak Padhyangan 6, Sophie selalu menyertai ayahnya manggung. Bahkan, tidak jarang juga dia dibawa keluar kota. Untungnya dia anteng dan tidak rewel. Jadi, semua crew yang ada juga ikut menjagainya. Bisa dibilang, Sophie adalah anak asuhan Padhyangan. Setelah usianya beranjak 9 bulan, ayahnya mengundurkan diri dari kelompok itu dan hijrah dari Bandung ke Jakarta untuk bekerja di salah
satu provider telepon selular. Di Jakarta kehidupan kami makin membaik. kami membangun keluarga ini mulai dari nol. Tapi, sepertinya, setelah kelahiran Sophie, rezeki selalu saja datang. Makanya, kami sering bilang Sophie itu pembawa berkah dalam keluarga kami. Kadang-kadang, kami menyebutnya secara guyon sebagai ‘anak preman’, karena dia cepat beradaptasi di segala situasi dan kondisi. Diajak naik becak, angkot, motor, hingga sekarang naik mobil pun dia oke-oke saja.
Istimewanya, dia cepat menghafal sesuatu. Walau usianya baru dua tahun lebih, dia sudah hafal banyak lagu. Lagu-lagu dalam satu VCD anak-anak bisa dinyanyikannya semua. Kesukaannya menyanyi ini tidak hanya dilakukan di rumah. Di acara anak-anak, dimana pun, kalau disodori mikrofon, dia langsung tarik suara, tanpa malu.
Sophie sangat dekat dengan ayahnya. Aku tahu, ayahnyalah yang paling merasa kehilangan. Sophielah yang selalu membangunkan ayahnya setiap pagi, lalu membawakan koran dans ecangkir teh. Meskipun sering tumpah di tempat tidur, aku tidak sanggup melarangnya melakukan kebiasaan itu. Kini, tidak ada lagi suara yang berkata, “Ayah, hati-hati, ya,” sambil melambaikan tangannya dan mengantarkan ayahnya berangkat kerja. Tak ada lagi sapaannya untuk ayahnya via telepon setiap siang. “Ayah cepat pulang, ya,” celotehnya manja.
Beberapa minggu setelah dia pergi, rasa sakit terus menderaku. Apalagi mulai muncul kerinduanku untuk memeluk dan menciumnya. Rindu mendengar celotehannya, rindu menlihat gerak-geriknya, rindu sapaannya. Saking rindunya, aku sering menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, aku shalat untuk menenangkan hati.
Banyak orang bilang, anak adalah titipan Tuhan. Tapi, kadangkala‚  aku masih terus bertanya-tanya, mengapa Tuhan mengambilnya terlalu cepat, padahal kami menerima dengan sepenuh hati titipanNya tersebut? Apa dosa kami? Apa kesalahan kami? Tapi, mungkin ini adalah rencana Yang Mahakuasa, karena di sisiNya Sophie pasti lebih bahagia.
Aku mencoba bersikap tegar, walau setiap sudut rumahku selalu mengembalikan kenangan tentang Sophie. Tidak hanya itu. Saat berbelanja, membayar listrik atau telepon, ke bank, atau hanya jalan-jalan di depan rumah, selalu terasa ada dia di sampingku. Karena, ke mana pun aku pergi selama ini, Sophie selalu kuajak. Lucunya, bila diajak ke mal, bukannya dia yang lelah, malah dia yang sering bertanya padaku, “Mama capek?”
Sophie sudah pergi, dan tak ada cara untuk mengembalikannya padaku.
Betapapun sakitnya, kami tidak dendam dengan wanita yang menabraknya.
Kami malah menganggapnya saudara. Dia benar-benar bertanggung jawab atas perbuatannya. Selama Sophie dirawat, dia terus berada di rumah sakit, termasuk saat pemakaman. Kami tahu, dia pasti tidak sengaja.
Sebab, seperti kami, dia juga shock dan stres.
Kenangan indah bersama Sophie, mulai dari kelahiran hingga akhir hisupnya, menjadi memori yang tak akan kami lupakan. Selamat jalan malaikat kecilku! (FATIMAH NURHAYANI)
Sumber: Putri Kecilku Berlari Menjemput Maut – Femina No. 44 tahun
2003

Originally posted 2015-09-03 12:13:55.

5 thoughts on “Putri Kecilku Berlari Menjemput Maut

  1. Aku mempunyai anak satu berumur 7 tahun. Aku membayangkan ketika anaku harus pergi tapi aku hanya berharap bahwa itu jangan terjadi saat ini.
    Walaupun begitu aku juga harus menyaipkan batin ini untuk menghadapinya. Tuhan mempunyai rencana yang kita tidak tahu.
    Aku merasakan betapa pedihnya ditinggalkan sesuatu yang dikasihinya. terbayang selalu saat ketika bermain, tertawa dan menangis bersama.
    Aku hanya bisa berdoa :
    “Tuhan dampingilah mereka yang sedang berduka. Tak ada orang yang mau mendampingi mereka dalam keadaan berduka. Hanya Engkau yang penuh belas kasih yang berkenan untuk menjamah mereka. Dampingilah mereka dan kami untuk selama-lamanya”

  2. Cerita Yang Diberikan Sungguh Menyentuh Hati,Tak Kuasa Untuk Menahan Air Mata.Yang hidup Pasti Mati,Hanya Dia Yang Berhak Menentukan Kapan Kita Akan Kembali Kepada-Nya.Semoga Kita Bisa Mengambil Hikmah Dari Peristiwa Tersebut.Selamat Tinggal Malaikat Kecil . . .

  3. Stelah sekian lama tdk menitikan air mata, dengan cerita ini saya tak kuasa menahan air mata…. Saya membayangkan, anak saya umurnya 2th. 8 bln.. Naudzubillah.. Ya Allah mdh2an kami sekeluarga selalu dalam lindungan-Nya.. Amien.. Bwt ayah & bunda sofie mdh2an selalu diberi kesabaran, InsyaAllah sofie tersenyum menyambut di Surga… Amien….

  4. yg sabar ya teh
    qt smua na kn kembali pdnya
    jng pernah merasa memiliki sst tu dngn seuthnya
    k 😉
    krn qt jg kn kembali padaNYA

Leave a Reply to salsa Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *