Tradisi

TETANGGA satu kompleks saya meninggal karena terjatuh dari motor saat mengusung sekarung sayuran, dua pekan lalu. Kepalanya membentur trotoar. Ia terluka sedikit, tapi jiwanya tak tertolong. Kala jenazah diusung, keluarganya memecahkan sebuah piring di pintu pagar: prang!
”Itu tradisi. Mungkin agar ‘perjalanan’ almarhum tak perlu disesali. Tak usah diingat-ingat. Ibarat piring sudah pecah berantakan,” kata saya mereka-reka. Anggaplah itu benar. Jadi, ikhlaskanlah roh itu menghadap Ilahi. Mati itu pasti!

Itu adat. Sebuah kebiasaan warisan leluhur yang mencakup berbagai nilai budaya, kemasyarakatan, kepercayaan, dan sebagainya. Tradisi adalah sebuah proses yang makin lama jadi semacam kebiasaan, yang diyakini kebenarannya.
Mungkin, persis tradisi melihat bayi lahir. Di sebuah tempat, bayi yang baru lahir tidak boleh ditengok, kecuali oleh orang-orang terhormat dan keluarga yang dianggap baik. Sebab kebaikan itu diharapkan menginspirasi dan terefleksikan pada si bayi.
Refleksi itu tumbuh seperti benih, memberi bunga dan buah, menurut sifat dan karakternya. Orang yang berkepribadian besar menularkan kepribadian besar pula. Sebaliknya, jika kebusukan dan keculasan yang terefleksikan, maka sifat negatif itu pula yang akan tertularkan.
Tapi entah mengapa tradisi yang bijak dan arif yang ditularkan dari masa ke masa kini mulai lenyap ditelan jaman. Tradisi baru muncul, coba lihat sekarang, euforia orang belanja luar biasa, berhutang pun bangga, selama uang belum habis, kartu kredit belum mencapai limit, kalau bisa jangan berhenti beli ini itu. Ada kesan aji mumpung, cenderung kebablasan. Sepertinya tiada hari lagi. Seolah besok bakal ada huru-hara, atau seluruh kebutuhan perut lenyap dari muka bumi. Atau, khawatir seakan-akan langit bakal runtuh. Pembelajaran untuk hidup sederhana pun buyar sesaat.
SEORANG ibu rumah tangga menggeleng-gelengkan kepala kala melihat rekannya dalam kelompok arisan menerapkan aji mumpung. Selagi nyonya rumah menyediakan kue berlebih, maka beragam sapu tangan kontan digelar. Kue kering di toples dituang, lalu dibungkus. Kue basah pun disambar bersih. Persis persediaan solar di pom bensin pekan-pekan ini: ludes!
Kerakusan itu seolah buah dari kehidupan yang kemrungsung (terburu-buru). Dan, karena itu, mereka menganggap sesuatu yang bisa ”menguntungkan” perlu dimanfaatkan secara cepat, sebelum hilang kesempatan. Tak peduli, misalnya, ada yang belum mencicipi, karena kue itu jauh dari tempat duduknya. Ini pun persis elite kekuasan: mumpung lagi berkuasa!
Tapi, itu belum seberapa. Di lain waktu, suguhan nyonya rumah berupa hidangan nasi plus lauknya malah menjadi cermin ”penelanjangan” diri. Piring dipenuhi nasi dan di atasnya ditaburi lauk sampai menggunung. Melihatnya saja sudah mblenger! ”Jangan dibuang, ya! Harus dihabiskan,” kata ibu itu, bernada geregetan.
Kejengkelannya terlontar karena, ”Saya merasa mereka bukan sedang lapar. Mereka gragas,” ujarnya. Mengambil nasi dan lauk di luar kewajaran demi memenuhi nafsu sesaat tentu bukan sifat santun. Apalagi, perutnya tidak dalam keadaan keroncongan. Terbukti kemudian, mulut mereka tak sudi menerima. Akhirnya, sisa makanan itu menumpuk. Mubazir.
Entah apa yang ada di dalam pikiran orang-orang saat ini, semua serba kacau, masalah-masalah kecil yang konyol justru menjadi topik yang menjadi makanan sangat lezat untuk kita tonton setiap hari, lucunya kita pun suka.
Orang bijak dulu pernah berkata, jangan sekali-kali mendramatisir masalah. Juga dilarang merespons orang berpikiran kacau. Yaitu yang menganggap bahwa hidup bahagia itu bisa terwujud oleh materi. ”Orang harus kaya agar bisa menguasai dunia,” begitu yang sering diucapkan pemuja duniawi, yang kehidupannya tak bergeser jauh dari seks, minum, dan judi.
Jadi, adakah panggung dunia ini yang makin rumit ataukah otak kita yang tak lagi memedulikan tangis orang lain? Orang bijak mengatakan, ”Orang tanpa kualitas hati akan mementingkan diri sendiri, bahkan secara bodoh.” Hal senada diucapkan Nabi Isa, ”Di mana hartamu berada, di situ pulalah hatimu.”
Mungkin, mereka menyadari telah memasuki api yang sedang menyala, namun tak menyadari akibatnya. Selama ini, kita memang sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Akibatnya, walau harta sudah segunung, tiada nikmat yang melekat atau hanya sesaat. Ibaratnya, rasa dahaga itu selalu menyergap, meski digelontor air.
Kita tak pernah merasa ”kaya” dalam arti sesungguhnya. Kita tak bisa menikmati apa pun yang kita miliki, karena kurang mewujud melalui rasa syukur. Atau, kita cenderung membanding-bandingkan dengan milik orang lain, mulai dari kekayaan, jabatan, kesehatan, sampai kecantikan yang tiada habis-habisnya.
Padahal, keceriaan dan kecantikan itu tidak ditentukan oleh kalung bertatahkan berlian, melainkan dari sikap hati. Jika kesadaran itu menghiasi hati, insya Allah, tradisi-tradisi buruk bakal terkubur bersama tumbuhnya rasa malu kita pada Tuhan. (Widi YM)

Originally posted 2010-12-17 18:39:16.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *