PERNAH sekali Mpu Peniti membisiki, semua sumber ketidak-bahagiaan adalah pengetahuan. Artinya semakin besar dan dalam pengetahuan, semakin kita tidak berbahagia. Saya tentu saja tidak setuju dengan nasihat seperti itu. Karena seolah-olah mengajak untuk cuek, masa bodoh, dan tidak mau belajar. Bagi saya ini nasihat yang ngawur. Sampai dua minggu yang lalu, saya disadarkan petuah itu oleh sebuah peristiwa.

Teman saya di Hong Kong, baru saja kehilangan ayahnya. Ketika diberitahu kabar itu, saya langsung mengirim email, dan memberikan ucapan belasungkawa. Teman saya membalas. Isinya cukup mengejutkan. Ia bercerita bahwa ayahnya sudah sangat tua. Sudah 90 tahun lebih. Sering sakit. Jadi kepergiannya justru melegakan. Karena dalam 20 tahun terakhir ini, ayahnya banyak menghabiskan biaya pengobatan, dan sangat menyusahkan anak-anak.

Jawaban itu tentu saja membuat saya merenung. Hati saya kacau sekali dibuatnya. Terlebih ketika seorang kawan yang lain juga mengalami hal yang sama. Ia juga baru saja kehilangan ayah. Prosesnya beda. Ketika pagi hari ia ingin membangunkan ayahnya, ia kaget setengah mati. Ayahnya meninggal dalam tidur. Wajahnya tersenyum. Menurut dokter, ayahnya meninggal karena serangan jantung. Ayahnya memang tidak pernah mau periksa ke dokter.

Lain dengan teman saya yang di Hong Kong. Ayahnya sangat teliti. Ketika memasuki usia 70 tahun, sebuah pemeriksaan yang teliti menunjukkan sejumlah komplikasi dan kelainan. Ia lalu menjalani hidup serba hati-hati. Ia memang berhasil hidup hingga 90 tahun lebih, tapi dengan membuat anak-anaknya cukup repot.

Kedua cerita di atas mungkin sangat ekstrem. Dan bukan contoh yang bijaksana. Tapi kenyataan hidup yang sebenarnya memang begitu.

Mentor bisnis saya, almarhum Bapak MS Kurnia, juga pernah menasihati hal yang mirip. Ia mengatakan, bahwa dalam mengelola perusahaan kadang ada saatnya harus belajar untuk tidak tahu, tidak peduli, cuek, dan masa bodoh. Karena semakin ingin tahu, kadang semakin banyak masalah yang justru kita temukan. Kita akan menjadi semakin kuatir. Hidup akan semakin stres. Akhirnya kita hanya akan dihadang dengan sejumlah kekurangan, kelemahan, dan kesalahan yang menumpuk. Kita menjadi tidak bahagia.

Sama pula dengan kekayaan. Semakin banyak harta, semakin besar rasa kuatir. Takut dirampok. Takut ditipu. Kita jadi repot pasang alarm. Bikin tembok yang semakin tinggi. Menambah jumlah kunci dan gembok. Kalau perlu punya sejumlah pengawal dan satpam. Atau memborong berbagai asuransi. Lain halnya kalau Anda tidak banyak memiliki harta. Maka semua kebutuhan tadi menjadi lenyap. Terdengar ironis, tapi nyatanya begitu.

Oleh Mpu Peniti, saya dinasihati untuk belajar cuek, dan masa bodoh. Konon demi kebahagian diri saya. Kemarin, di sebuah taksi, saya berjumpa seorang supir taksi yang berusia lanjut. Rambutnya hampir putih semua. Ia mengeluh ekonomi yang semakin susah. Jumlah taksi yang semakin banyak dan setoran yang sedikit. Anaknya yang kuliah di Universitas Indonesia sudah tidak bisa kuliah, karena menunggak uang kuliah sekian lama. Ia mengaku sudah menghadap rektor, tapi juga tidak mendapat keringanan.

Ketika ia menasihati anaknya untuk kerja saja, anaknya malah menangis pilu. Ia jadi susah hati. Saya ikut trenyuh mendengar ceritanya itu. Namun yang membuat saya lega adalah semangat hidupnya yang sangat luar biasa. Ia bertutur, katanya kalau ia membandingkan nasibnya dengan teman yang lain, mungkin ia sudah bunuh diri. Tidak sanggup katanya. Kalau ia putus asa melihat anaknya tidak bisa kuliah, mungkin ia sudah menipu dan merampok.

Survival-nya selama ini, adalah berkat sikapnya untuk belajar cuek dan masa bodoh. Apa pun situasinya, ia tetap fokus dan konsentrasi menarik taksi. Ia belajar tidak peduli dengan nasibnya. Lalu di mana letak kebahagiaannya. Menurutnya, hanya ada dua. Ia bahagia bila setiap hari bisa pulang dengan selamat dan bisa meluangkan waktu dengan keluarganya. Syukur-syukur apabila ia pulang membawa uang hasil menarik taksi yang lumayan. Ia juga bahagia setiap kali bangun tidur, diberikan kesehatan oleh Allah, yang mampu membuatnya sujud dan menjalankan salat dengan khusyuk. Lalu berangkat kerja untuk menarik taksi.

Mendengar cerita sang bapak supir taksi, saya menjadi sangat bersyukur, karena limpahan rahmat dan kesejahteraan yang telah diberikan oleh Allah selama ini. Saya berjanji untuk tidak lagi membanding-bandingkan nasib saya dengan orang lain. Karena sesungguhnya kebahagiaan yang telah dilimpahkan kepada saya, jumlahnya sangat banyak dan tak terkira.

Kafi Kurnia
peka@indo.net.id
[Intrik, Gatra Nomor 28 Beredar Senin, 22 Mei 2006]

Originally posted 2019-03-11 17:24:53.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *